Regulasi Tentang Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati

Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan.

Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi.

Oleh karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peran serta rakyat akan diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar konservasi.

Saat ini sejumlah tumbuhan dan satwa dilindungi oleh pemerintah Indonesia melalui peraturan perundang-undangan. Dasar hukum perlindungan ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MenLHK/ Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/ MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi

Pada pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Setiap orang dilarang untuk :  

  1. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; dan
  2. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
  3. Sedangkan terhadap satwa yang dilindungi, setiap orang dilarang untuk:
  4. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
  5. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
  6. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
  7. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; dan
  8. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.

Ketentuan Pidana dari Pelanggaran UU tersebut (Pasal 40) adalah :

  • Pasal 40 ayat (2). Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  • Pasal 40 ayat (4). Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).  
  • Pasal 40 ayat (5). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.

Daftar tumbuhan dan satwa yang dilindungi telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan ini dilakukan pemerintah setelah mendapatkan pertimbangan otoritas keilmuan yang ditunjuk, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MenLHK/ Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, terdapat 787 spesies satwa dan 117 spesies tumbuhan yang dilindungi.

Selain peraturan perundangan tersebut, juga terdapat konvensi perdagangan internasional (CITES atau Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) yang mengatur mekanisme perdagangan tumbuhan dan satwa liar secara internasional untuk memastikan kelestariannya. CITES mulai berlaku mengikat sejak 1 Juli 1975 dan Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tahun 1978.

Tujuan CITES adalah untuk menjamin tumbuhan dan satwa liar dalam perdagangan internasional tidak dieksploitasi secara tidak berkelanjutan. Segala ketentuan dalam konvensi CITES akan berlaku ketika tumbuhan dan satwa liar akan diperdagangkan lintas negara.  CITES mengatur export, re-expor, impor dan introduction from the sea dari spesies satwa baik hidup atau mati, dan spesies tumbuhan baik bagian-bagian maupun turunan-turunannya (spesies yg terdapat dalam appendix) melalui sistem permit dan sertifikat.

Spesies yang dikontrol oleh regulasi CITES terbagi ke dalam 3 kategori, yaitu appendix I, II, dan III. Appendix I adalah kelompok spesies yang terancam punah yang mungkin terpengaruh oleh perdagangan. Perdagangan internasional spesies ini secara komersial dari alam adalah dilarang, kecuali hasil penangkaran. Terdapat 655 spesies satwa dan 298 spesies tumbuhan termasuk dalam kategori appendix ini.

Appendix II adalah kelompok spesies yang saat ini tidak terancam punah tetapi mungkin menjadi demikian jika perdagangannya tidak dikontrol dengan ketat. Perdagangan internasional diperbolehkan tetapi diatur, antara lain dengan sistem kuota. Terdapat 4.399 spesies satwa dan 28.679 spesies tumbuhan.

Appendix III adalah kelompok spesies yang diproteksi oleh suatu negara dan negara lain diharapkan dapat membantu melakukan kontrol terhadap ekspornya. Perdagangan internasional spesies ini diperbolehkan tetapi diatur seperti appendix II. Terdapat 160 spesies satwa dan 10 spesies tumbuhan termasuk dalam appendix III.

Sumber :

  • Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1990
  • Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MenLHK/ Setjen/Kum.1/12/2018
  • https://rakataonline.wordpress.com/2013/07/29/meretas-jalan-konservasi-keanekaragaman-hayati-via-cites/

Penulis : Ihwan Yusuf Habibi, S.Hut.

Penyuluh Kehutanan Ahli Muda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *