Meningkatkan Nilai Tambah Limbah Bambu Melalui Kerajinan Tangan

Dibuang sayang. Barangkali itulah dua kata yang pertama terucap dari seorang pria yang tinggal di RT 23 RW 5 Dusun Kampung Anyar Desa Sanankerto Kecamatan Turen Kabupaten Malang, ketika penulis bertandang ke kediamannya, dan menanyakan awal mula ketertarikannya membuat berbagai kerajinan yang terbuat dari limbah bambu. Bersama istrinya, seperti kebanyakan masyarakat di Dusun Kampung Anyar, mereka juga menggeluti pekerjaan membuat tusuk sate untuk disetorkan pada pengusaha yang berada di desa sebelahnya, yaitu Desa Pagedangan

Bersama pengrajin bambu

Puji Anwar, pria sederhana yang sangat ramah serta ceria ketika menceritakan awal mula dia membuat kerajinan bonggol bambu ini. Pria yang tak sampai menamatkan pendidikan sekolahnya, hanya berhenti di kelas 3 Sekolah Dasar pada waktu itu. Jawaban yang serupa beberapa waktu silam ketika ditanyakan oleh Menteri saat kunjungan kerja di Kecamatan Turen. Membuat tusuk sate merupakan pekerjaan kesehariannya untuk menyambung hidup hingga membesarka kelima anaknya, selain memelihara beberapa ekor kambing di halaman depan rumahnya, sebagai upayanya menabung dari hasil keringat bersama istrinya.

Proses pembuatan tusuk sate

Pada mulanya potongan ruas bambu sisa hasil pembuatan tusuk sate teronggok begitu saja, hanya dijadikan bahan bakar dapur keluarganya, sebagian juga terbuang begitu saja hingga lapuk di depan rumahnya. Terbesitlah pikirannya kala itu ketika melihat bonggol bambu yang menyerupai sebuah asbak. Lalu dengan peralatan sederhananya dia berhasil membuat sebuah asbak sederhana cantik yang menghiasi meja tamunya.

Limbah bonggol bambu dan kerajinan asbak

Untuk memenuhi permintaan pengepul tusuk sate, agar hasil pembuatan tusuk satenya dihargai tentunya memiliki ukuran yang disyaratkan untuk dapat memenuhi permintaan pasar, diantaranya yaitu ukuran panjang lidi 45 cm, 38 cm, 35 cm dan 25 cm serta ketebalan 2 mm, 2,5 mm dan 2,7 mm . Sehingga untuk ukuran ukuran tertentu terpaksa tidak bisa digunakan, akhirnya juga menumpuk sebagai limbah saja.       

Puji Anwar melihat itu sebagai peluang, sehingga kreatifitasnya terus berkembang, tidak hanya membuat kerajinan dari bonggol bambu. Potongan potongan bambu yang terbuang kemudian diolahnya, dibelah maupun diukir sesuai dengan keinginanya. Sebagian bahan baku tersebut dibelah, untuk selanjutnya dibuat anyaman pagar rumah, maupun reng penyangga genting rumah. Untuk bambu yang berukuran pendek kemudian dibelah tipis tipis dan dikeringkan matahari selama 2-3 hari hingga kering lalu digunakan sebagai bahan pembuatan kerajinan tompo, miniatur perahu, kerajinan lampu petromak dan lain sebagainya.  

Harga yang dipatok untuk setiap hasil karyanya cukup bervariasi, dari kerajinan asbak seharga Rp. 10.000,- hingga karya purwa rupa patung biasanya berkisar antara Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 350.00,-. Pada momen momen pameran di tingkat kecamatan, hasil karya Puji Anwar biasanya turut dipamerkan. Tamu dinas yang berkunjung ke Desa Sanankerto ini biasanya diarahkan untuk berkunjung ke Dusun Kampung Anyar ini. Untuk penjualan reguler bisa ditemukan hasil karyanya di stand lokasi Ekowisata Bonpring. Berikut adalah hasil kerajinan limbah bambu :

Bahan pembuatan miniatur kapal dan hasil kapalnya
Bahan penyangga atap rumah dan pagar halaman
Lampu hias dan tempat hp/pensil
Gelas/mug dan seni rupa realis dari bonggol bambu

Mempertahankan kualitas barang dan jasa, sekaligus meningkatkan nilai tambah adalah bekal untuk keberlangsungan usaha. Hadirnya Penyuluh Kehutanan untuk membimbing dan membina para petani maupun pengrajin adalah upaya yang selaras untuk bersama sama meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Dengan memahami sosio kultural masyarakatnya, kearifal lokal yang dijunjung tinggi, Penyuluh Kehutanan dapat menanamkan nilai nilai konservasi di dalamnya.

☼Hutan lestari, masyarakat sejahtera☼

Penulis : Listiono Riadi, S.Hut

Penyuluh Kehutanan Ahli Muda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *